Oleh : Didin Mulyanto
Staf Pengajar dan Tim Kurikulum MA Husnul Khotimah, Kuningan
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Pikiran Rakyat, Rabu 10 Oktober 2012
Staf Pengajar dan Tim Kurikulum MA Husnul Khotimah, Kuningan
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Pikiran Rakyat, Rabu 10 Oktober 2012
Akhir-akhir ini di kalangan pendidik marak berbagai diskusi terkait dengan wacana yang digulirkan pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merevitalisasi kurikulum pendidikan sejak tingkat SD hingga SLTA sederajat. Alasan pemerintah sebagaimana yang disampaikan Ketua Badan Standarisasi Pendidikan Nasional (BSPN) salah satunya adalah karena para siswa saat ini memang cerdas secara akademis, tetapi cenderung tidak respek, tidak toleran, tidak menghormati hukum, ugal-ugalan di jalanan dan berbagai perilaku sejenisnya yang sebenarnya bertolak belakang dengan kecerdasan yang mereka miliki (Metro TV News, 7/10)
Walaupun target revitalisasi tersebut akan memakan waktu minimal enam tahun dan maksimal dua puluh tahun, tak urung wacana itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan pendidik. Apalagi pemaknaan revitalisasi kurikulum tersebut adalah menyederhanakkan atau penggabungan beberapa mata pelajaran menjadi satu mata pelajaran saja (�PR�, 3/10). Ini akan merepotkan. Belum lagi nasib guru yang mata pelajaran akan berdampak pada penyederhanaan (baca: pengurangan) jumlah tenaga pengajar.
Telah lama disadari, ada masalah dalam sistem pendidikan kita. Jumlah mata pelajaran dengan materi yang terlalu banyak dan beragam membebani siswa. Kurangnya, penekanan pada aspek agama dan moral membuat siswa kita walaupun kritis dan cerdas, tetapi jauh dari nilai-nilai akhlak mulia, tidak memiliki empati terhadap lingkungan dan sesamanya.
Menurut penulis, revitalisasi pendidikan memang perlu dilakukan. Tentu dengan beberapa catatan. Pertama, pemerintah hendaknya mengingatkan kembali tujuan pendidikan nasional kita sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. revitalisasi pendidikan seharunya dimaknai sebagai penegasan untuk mencapai tujuan tersebut di mana kecerdasan siswa secara akademik disertai dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Apalagi, sudah menjadi pengetahuan umum kalau atmosfer pendidikan kita selama ini lebih cenderung pada aspek akademik semata.
Kedua, alangkah baiknya jika revitalisasi kurikulum itu dalam bentuk pengarahan keepada siswa sejak SD hingga SLTA untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Jadi, ada semacam mata pelajaran umum di mana setiap siswa wajib menguasainya dan ada mata pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan kompetensi yang diinginkan siswa. Dengan demikian, revitalisasi kurikulum pendidikan tidak bermuara pada penyederhanaan atau penggabungan mata pelajaran, tetapi sesuai dengan makna asalnya yang berarti proses, cara dan perbuatan menghidupkan kembali berbagai mata pelajaran yang sebelumnya kurang berdaya menjadi lebih berdaya guna. Artinya sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi siswa.
Ketiga, penekanan pada pendidikan agama, moral, serta kebangsaan di setiap jenjang pendidikan. Ini penting, karena secerdas apapun siswa kita, kalu tidak disertai dengan bekal agama, mora, serta nilai kebangsaan, akan membahayakan tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga bangsa dan Negara. Theodore Roosevelt mengatakan:�To educate a person in mind and not in morals is to educate a manace to society� (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya bagi masyarakat).