Artikel Terbaru

Rabu, 30 Juni 2010

Antropologi Olahraga

Oleh Gatot Jariono
A. Latar belakang
Seorang filsuf China; Lao Chai, pernah berkata bahwa suatu perjalanan yang bermil-mil jauhnya dimulai dengan hanya satu langkah. Pembaca dari materi ini juga baru memulai suatu langkah ke dalam lapangan dari suatu bidang ilmu yang disebut dengan Antropologi. Benda apa yang disebut dengan Antropologi itu? Beberapa atau bahkan banyak orang mungkin sudah pernah mendengarnya. Beberapa orang mungkin mempunyai ide-ide tentang Antropologi yang didapat melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik.
Beberapa orang lagi bahkan mungkin sudah pernah membaca literatur-literatur atau tulisan-tulisan tentang Antropologi. Banyak orang berpikir bahwa para ahli Antropologi adalah ilmuwan yang hanya tertarik pada peninggalan-peninggalan masa lalu; Antroplogi bekerja menggali sisa-sisa kehidupan masa lalu untuk mendapatkan pecahan guci-guci tua, peralatan-peralatan dari batu dan kemudian mencoba memberi arti dari apa yang ditemukannya itu.
Pandangan yang lain mengasosiasikan Antropologi dengan teori Evolusi dan mengenyampingkan kerja dari Sang Pencipta dalam mempelajari kemunculan dan perkembangan mahluk manusia. Masyarakat yang mempunyai pandangan yang sangat keras terhadap penciptaan manusia dari sudut agama kemudian melindungi bahkan melarang anak-anak mereka dari Antroplogi dan doktrin-doktrinnya. Bahkan masih banyak orang awam yang berpikir kalau Antropologi itu bekerja atau meneliti orang-orang yang aneh dan eksotis yang tinggal di daerah-daerah yang jauh dimana mereka masih menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang bagi masyarakat umum adalah asing.
Semua pandangan tentang ilmu Antroplogi ini pada tingkat tertentu ada benarnya, tetapi seperti ada cerita tentang beberapa orang buta yang ingin mengetahui bagaimana bentuk seekor gajah dimana masing-masing orang hanya meraba bagian-bagian tertentu saja sehingga anggapan mereka tentang bentuk gajah itupun menjadi bermacam-macam, terjadi juga pada Antropologi. Pandangan yang berdasarkan informasi yang sepotong-sepotong ini mengakibatkan kekurang pahaman masyarakat awam tentang apa sebenarnya Antropologi itu.
Antropologi memang tertarik pada masa lampau. Mereka ingin tahu tentang asal-mula manusia dan perkembangannya, dan mereka juga mempelajari masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (sering disebut dengan primitif). Tetapi sekarang Antropologi juga mempelajari tingkah-laku manusia di tempat-tempat umum seperti di restoran, rumah-sakit dan di tempat-tempat bisnis modern lainnya. Mereka juga tertarik dengan bentuk-bentuk pemerintahan atau negara modern yang ada sekarang ini sama tertariknya ketika mereka mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan yang sederhana yang terjadi pada masa lampau atau masih terjadi pada masyarakat-masyarakat di daerah yang terpencil.
Oleh karena itu, hubungan antara Antropologi dan kebudayaan itu sendiri tidak dapat dipisah. Sebab, apa yang dicari oleh Antropologi merupakan hasil dari kebudayaan manusia. Kebudayaan tercipta karena individu manusia itu sendiri yang berusaha menciptakannya. Seperti kata orang, manusia itu tidak pernah puas dengan hal yang sudah ia capai. Oleh karena itu, hal itu pulalah yang menjadi cambuk untuk menciptakan hal-hal baru dalam kehidupannya. Itulah yang dinamakan kebudayaan.
Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa Antropologi bukanlah pemulung yang memunguti artefak-artefak yang telah ditinggalkan manusia (sampah). Bukan. Namun, Antropologi merupakan jembatan yang akan menghubungkan suatu pola kehidupan generasi yang telah berlalu dengan generasi sekarang dan akan datang.

B. Batasan masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis akan batasi masalah pembahasan ini agar tidak terjadi tumpang tindih tentang hal ini, batasan masalah ini adalah sebagai berikut, sejarah, defenisi antropologi dan olahraga, sosial dan kebudayaan, serta etika dan moral dalam berolahraga.

BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum penulis membahas tentang antrpologi olahraga maka terlebih dahulu penulis akan menarik benang merah suatu makalah ini tentang sejarah antropologi agar tidak mengambang dan terlalu mengada-ada rentang pembahasan pembahasan lebih lanjut.
A. Sejarah
Seperti halnya sosiologi, antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
- Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi.
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
- Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
- Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
- Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami,

B. Defenisi antropologi
Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata.
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan penelitian pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal. Defenisi Antropologi menurut beberapa ahli :
� William A. Havilland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
� David Hunter:Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
� Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Macam-Macam Jenis Cabang Disiplin Ilmu Anak Turunan Antropologi :
a) Antropologi Fisik
1. Paleoantrologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2. Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengna mengamati ciri-ciri fisik.
b) Antropologi Budaya
1. Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan budaya manusia mengenal tulisan.
2. Etnolinguistik antrologi adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4. Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.
Di samping itu ada pula cabang ilmu antropologi terapan dan antropologi spesialisasi. Antropology spesialisasi contohnya seperti antropologi politik, antropologi kesehatan, antropologi ekonomi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

C. Defenisi olahraga
Makna olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah gerak badan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan. Sedangkan dalam Webster�s New Collegiate Dictonary (1980) yaitu ikut serta dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus seperti berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic games di Amerika Serikat)
Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila.
Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus bergerak dari konsep bermain, games, dan sport. Ruang lingkup bermain mempunyai karakteristik antara lain; a. Terpisah dari rutinitas, b. Bebas, c. Tidak produktif, d. Menggunakan peraturan yang tidak baku. Ruang lingkup pada games mempunyai karakteristik; a. ada kompetisi, b. hasil ditentukan oleh keterampilan fisik, strategi, kesempatan. Sedangkan ruang lingkup sport; permainan yang dilembagakan.
Tujuan utama olahraga bukanlah pembangunan fisik saja melainkan juga pembangunan mental dan spiritual. Olahraga (Lama) ialah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan atas pilihan sendiri yang bermaksud menguatkan diri baik phisik maupun psychis tanpa mengharapkan suatu hasil materiil tetapi mengharapkan kenaikan prestasi. Olahraga (baru) ialah membentuk manusia Indonesia Pancasila yang fisik kuat-sehat berprestasi tinggi, yang memiliki kemampuan mental dan ketrampilan kerja yang kritis kreatif dan sejahtera. Jadi Olahraga ialah suatu usaha untuk mendorong, membangkitkan, mengembangkan dan membina kekuatan jasmaniah maupun rokhaniah pada tiap manusia. Lebih tegas dikatakan bahwa olahraga untuk mempertahankan existensi kemanusiaan dan untuk melakukan cita-cita hidup bangsa. Olahraga merupakan pembentukan fisik dan mental

a) Hakikat Olahraga
Olahraga ada beberapa konsep yang perlu dikaji dan dipahami secara mendalam. Konsep ini bersifat abstrak yaitu �mental image�. Walau kita tahu bahwa konsep ini abstrak, tetapi didalam konsep ini ada makna tertentu, walau perbedaan makna pada setiap individu berbeda-beda tentang ini. Konsep dasar tentang keolahragaan beragam, seperti bermain (play), Pendidikan jasmani (Physical education), olahraga (Sport), rekreasi (recreation), tari (dance). Bermain (play) adalah fitrah manusia yang hakiki sebagai mahluk bermain (homo luden), bermain suatu kegiatan yang tidak berpretensi apa-apa, kecuali sebagai luapan ekspresi, pelampiasan ketegangan, atau peniruan peran. Dengan kata lain, aktivitas bermain dalam nuansa riang dan gembira. Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat belum tercemar. Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat menyenangkan dan gembira ini merupakan bentuk permainan yang belum tercemar.
Olahraga bersifat netral dan umum, tidak digunakan dalam pengertian olahraga kompetitif, karena pengertiannya bukan hanya sebagai himpunan aktivitas fisik yang resmi terorganisasi (formal) dan tidak resmi (informal).
Pendidikan jasmani pada dasarnya bersifat universal, berakar pada pandangan klasik tentang kesatuan erat antara �body and mind�, Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan melalui aktivitas jasmani yang bertujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional.
Konsep pendidikan jasmani terfokus pada proses sosialisasi atau pembudayaan via aktifitas jasmani, permainan dan olahraga. Proses sosialisasi berarti pengalihan nilai-nilai budaya, perantaraan belajar merupakan pengalaman gerak yang bermakna dan memberi jaminan bagi partisipasi dan perkembangan seluruh aspek kepribadian peserta didik. Perubahan terjadi karena keterlibatan peserta didik sebagai aktor atau pelaku melalui pengalaman dan penghayatan secara langsung dalam pengalaman gerak sementara guru sebagai pendidik berperan sebagai �pengarah� agar kegiatan yang lebih bersifat pendeawsaan itu tidak meleset dari pencapaian tujuan.
D. Perspektif Antropologi Olahraga
Dalam memahami arti antropologi olahraga, pendidikan jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan antara Pendidikan jasmani dan olahraga (sport) dengan sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari ORKES (Olahraga Kesehatan). Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat. Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
Dalam antropologi olahraga intinya adalah aktivitas atau hubungan satu kelompok dengan kelompok yang lain. Kita mengartikan antropologi sebagai ujung tombak berinteraksi yang bersifat universal yang kompetitif, meskipun berinteraksi tidak harus selalu bersifat ada pertemuan. Berinteraksi bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari berinteraksi dapat ditemukan di dalam keduanya.
Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari sosial maupun dari olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
Antroplogi olahraga , pendidikan jasmani dan olahraga melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga dan sosiologi dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan berinteraksi dengan kelompok yang lain, untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. berinteraksi dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat dan harus beriringan bersama.
E. Pembangunan olahraga bagian integral dari pembangunan bangsa
Lagu Kebangsaan Republik Indonesia yang berjudul �Indonesia Raya�, yang dikarang oleh WR. Supratman, syairnya antara lain berbunyi: �Bangunlah jiwanya bangunlah badannya�. Sepenggal syair ini menunjukkan bahwa dalam membangun bangsa, termasuk membangun Sumber Daya Insani (SDI) menekankan pada pembangunan jiwa dan raga atau jasmani dan rohani.
Kondisi jasmani dan rohani yang kuat akan memberikan landasan yang kuat pula terhadap pengembangan Sumber Daya Insani. Bangsa yang kuat dan besar terutama ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Insaninya. Banyak faktor untuk membangun SDI yang kuat, dalam konteks ini olahraga memiliki peran yang cukup pentingDalam kenyataannya, olahraga telah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan manusia. Persoalannya adalah bagaimana agar olahraga dapat dijadikan wahana dalam membangun bangsa yang sehat dan kuat jasmani dan rohani. Akan tetapi di sisi lain masih ditemui banyak kendala dalam pembangunan olahraga.
Pembangunan olahraga di Indonesia masih perlu peningkatan dan pengembangan lebih lanjut, karena di samping harus mengejar ketinggalan dengan negara-negara lain, Indonesia juga masih me�miliki berbagai kendala dalam pembinaannya. Masalah yang dihadapi dunia olahraga Indonesia, yaitu:
1. Belum optimalnya kemauan politik (political will) pemerintah dalam menangani olahraga. Hal ini ditandai antara lain: lembaga yang menangani olahraga belum secara herarkhis-vertikal terpadu; kegiatan olahraga dikenai pajak; dana terbatas; dan lain-lain.
2. Sistem pembinaan belum terarah. Kurangnya keterpaduan dan kesinambungan penyusunan pembinaan pendidikan jasmani dan olahraga serta pelaksanaan operasionalnya mengenai kegiatan pemassalan, pembibitan, dan peningkatan prestasi sebagai suatu sistem yang saling kait-mengkait. Sebagai indikatornya antara lain: belum memiliki sistem rekruitmen calon atlet; pemilihan olahraga prioritas belum tepat; dan lain-lain.
3. Lemahnya kualitas Sumber Daya Insani olahraga. Rendahnya kualitas pelatih dan kurang optimalnya peran guru pendidikan jasmani di luar sekolah merupakan sebagian indikator yang menunjukkan rendahnya kualitas.
4. Belum optimalnya peran Lembaga Pendidikan Tinggi Olahraga (LPTO), seperti Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK); Fakultas/ Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK/JPOK), Program Studi-Program Studi yang menangani disiplin ilmu keolahragaan dalam Program Pascasarjana. Hal ini ditandai dengan masih rendahnya kualitas lulusan; banyak SDI yang tidak terlibat dalam kegiatan olahraga di luar kampus sesuai dengan potensinya, dan lain-lain.
5. Lemahnya peran Lembaga/Bidang Penelitian dan Pengem�bangan Olahraga. Indikatornya adalah: perhatian terhadap lembaga tersebut rendah; data tentang keolahragaan (misalnya data: atlet, pelatih, kelembagaan) belum lengkap; dan lain-lain.
6. Terbatasnya sarana dan prasarana. Tidak seimbangnya antara pengguna dan fasilitas yang tersedia, bahkan fasilitas olahraga yang telah ada beralih fungsi, dan lain-lain.
7. Sulitnya pemanfaatan fasilitas olahraga. Karena terbatasnya fasilitas, maka berdampak pada sulitnya memanfaatkan fasilitas tersebut. Bahkan untuk kebutuhan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah pun masih jauh dari memadai. Untuk fasilitas tertentu, Pengguna harus mambayar.
8. Masih kaburnya pemahaman dan penerapan pendidikan jasmani dan olahraga. Terutama di sekolah, masih banyak dijumpai pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani yang berorientasi pada peningkatan prestasi olahraga. Padahal seharusnya pendidikan jasmani tersebut diarahkan pencapaian tujuan pendidikan. Pencapaian prestasi di sekolah dapat dilakukan pada kegiatan ekstrakurikuler.
Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa kondisi kesegaran jasmani guru-guru pendidikan jasmani rata-rata berkategori �kurang�*) (Furqon, 2003: 3). Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kesegaran jasmani tersebut terutama karena sebagian besar guru pendidikan jasmani di sekolah dasar tidak melakukan aktivitas olahraga secara teratur. Bahkan juga ditemu�kan faktor lain, yaitu dalam pelaksanaan mengajarnya pun jarang terlibat atau melibatkan diri dalam aktivitas fisik. Di sisi lain, kondisi kesegaran jasmani bagi anak usia 11�17 tahun juga berkategori �kurang� (Furqon dan Kunta, 2004: 2).
Melengkapi temuan tersebut, berdasarkan hasil tes pemanduan bakat dengan Metode Sport Search sebagian besar (> 70 %) potret keberbakatan anak Sala adalah olahraga yang bersifat individual atau perorangan dan sangat jarang anak yang memiliki bakat dalam olahraga beregu atau tim (Furqon dan Muhsin, 2000: 5). Kondisi semacam ini kemungkinan besar disebabkan, karena lemahnya kemampuan gerak dasar dan kemampuan koordinasi gerak anak. Lemahnya kemampuan gerak tersebut, kemungkinan disebabkan oleh: (1) spesialisasi pada cabang olahraga tertentu terlalu dini; (2) lemahnya pendidikan jasmani di sekolah dasar; (3) kegiatan anak di luar sekolah tidak memberikan peluang untuk bergerak; dan (4) lingkungan yang kurang konduksif, seperti terbatasnya tempat bermain, hilangnya kesempatan anak untuk berburu, berpetualang, dan lain-lain.
Dalam bidang olahraga kompetitif, yang menekankan pada pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya juga mengalami kemun�duran. Salah satu indikatornya adalah sejak SEA Games 1995 di Thailand prestasi Indonesia merosot**). Padahal sejak Indonesia terlibat dalam SEA Games tahun 1978, Indonesia selalu ranking satu (Juara Umum).
Berdasarkan fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pembangunan olahraga kurang ada keserasian dan kesinambungan baik secara horisontal maupun secara vertikal. Dengan kata lain, ada sesuatu yang perlu dibenahi dalam sistem pembangunan olahraga kita. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mengoptimalkan peran olahraga sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa? Dan bagaimana memberdayakan olahraga tersebut agar mampu mendukung pembangunan bangsa?

1) Kendala Dan Potensi
Sebagai bangsa yang tergolong dalam kelompok negara berkembang bahwa pertumbuhan olahraganya belum menggem�bi�rakan, karena penduduknya masih diliputi suasana meningkatkan pertumbuhan taraf hidup yang lebih baik. Sebagai akibatnya olah�raga belum mendapat prioritas utama.
Tempat-tempat berolahraga di lingkungan lembaga pendi�dikan, lingkungan pemukiman, dan lingkungan industri di kota-kota besar makin terbatas, bahkan banyak lapangan olahraga yang sudah ada berubah atau beralih fungsi, sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk berolahraga. Demikian pula kurangnya tenaga keolahragaan profesional yang mengabdikan diri sepenuhnya pada perkembangan olahraga, seperti pembina, penggerak, dan pelatih, merupakan kendala pula dalam pembangunan olahraga.
Di samping kendala yang dihadapi, kita juga memiliki peluang untuk menggalang potensi yang ada.
Gerakan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat telah memperlihatkan perkembangan yang menggembi�rakan, terutama sejak dicanangkannya gerakan tersebut. Kondisi ini memiliki potensi yang baik sebagai dasar dalam pembangunan olah�raga.
Dari segi jumlah penduduk yang cukup besar, pada dasarnya merupakan sumber untuk memperoleh bibit-bibit olahragawan yang berpotensi dalam berbagai cabang olahraga. Tentunya dalam pemanfaatan Sumber Daya Insani ini harus disesuaikan dengan karakteristik postur tubuh orang Indonesia. Cabang-cabang olahraga yang tidak atau kurang memerlukan postur tubuh yang tinggi, memiliki potensi untuk dibina dan dikembangkan, seperti bulutangkis, tinju, tenis meja, panahan, loncat indah, senam dan lain-lain. Tampaknya kita akan kesulitan untuk meraih prestasi tingkat internasional, misalnya dalam cabang bola basket, bola voli, lari 100 meter, dan lain-lain, karena kita kurang atau belum memiliki postur tubuh yang menguntungkan, walaupun unsur postur tubuh tidak selamanya menjadi jaminan dalam mencapai prestasi.
Dari segi geografis maupun tersedianya sarana alami yang berupa wilayah darat, perairan, dan udara Indonesia memungkin�kan untuk pengembangan berbagai cabang olahraga.
Dari segi banyaknya olahraga tradisional di masyarakat merupa�kan kekayaan budaya bangsa yang dapat dikembangkan, seperti olahraga beladiri, sepak takraw, olahraga air dan lain-lain.

2) Hakikat Berolahraga
a. Berolahraga Merupakan Bagian dan Kebutuhan Hidup
Salah satu karakteristik makhluk hidup di dunia ini, termasuk manusia adalah melakukan gerakan. Antara manusia dan aktivitas fisik merupakan dua hal yang sulit atau tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak manusia pada jaman primitif hingga jaman moderen, aktivitas fisik atau gerak selalu melekat dalam kehidupan sehari-harinya. Berarti aktivitas fisik selalu dibutuhkan manusia.
Neilson (1978: 3) mengemukakan bahwa manusia berubah sangat sedikit selama 50.000 tahun yang berkaitan dengan organi�sasi tentang struktur dan fungsi yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa perubahan utama bukan pada manusianya, melainkan pada kebutuhan dan kemampuan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan besar di dalam ling�kungan alam dan lingkungan buatan manusia. Manusia berusaha memodifikasi lingkungannya dengan mencoba-coba, eksplorasi dan dengan eksploitasi.
Pada jaman primitif gerakan pada mulanya merupakan gejala emosional murni yang dilakukan manusia untuk kesenangan dan komunikasi dengan dewa. Selanjutnya, gerakan berkembang dari pelaksanaan gerak yang tidak terencana ke kondisi gerak yang hingar-bingar pada upacara seremonial dan komunikasi untuk kerja seni. Karena aktivitas gerak sangat penting baik untuk kelang�sungan hidup maupun komunikasi dengan dewa, maka aktivitas fisik tersebut merupakan yang terpenting untuk eksistensi manusia. Oleh karena itu, mereka mulai menyusun struktur geraknya ke dalam bentuk-bentuk yang bermanfaat, tepat dan sadar. Semua peristiwa penting dalam siklus kehidupan orang primitif yang memiliki makna praktis dan religius disimbulkan dalam gerakan-gerakan tubuh yang terstruktur. Di seluruh periode evolusinya, aktivitas fisik sangat penting untuk kelangsungan hidup dan tetap penting untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimum.
Harrow (1977: 5) mengemukakan bahwa ada tujuh pola gerak yang sangat penting untuk eksistensi orang primitif yang merupakan dasar gerakan keterampilan. Aktivitas gerak ini adalah inheren dalam diri manusia, yakni lari, lompat/loncat, memanjat, mengangkat, membawa, menggantung, dan melempar.
Hingga kini aktivitas fisik atau gerak, juga tidak dapat dipi�sah�kan dari kehidupan manusia, karena gerak dipandang sebagai kunci untuk hidup dan untuk keberadaan dalam semua bidang kehidupan. Jika manusia melakukan gerakan yang memiliki tujuan tertentu, maka ia mengkoordinasikan aspek-aspek kognitif, psiko�motor, dan afektif.
Secara internal, gerak manusia terjadi secara terus menerus, dan secara eksternal, gerak manusia dimodifikasikan oleh penga�laman belajar, lingkungan yang mengitari, dan situasi yang ada. Oleh karena itu, manusia harus disiapkan untuk memahami fisiologis, psikologis dan sosiologis agar dapat mengenali dan secara efisien menggunakan komponen-komponen gerak secara keseluruhan. Dengan demikian, antara manusia dan aktivitas fisik tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya.

b. Olahraga tak Tergantikan Aktivitas Lain
Kemajuan ilmu dan teknologi telah memberikan berbagai perubahan perilaku dan pola hidup. Salah satu contoh praktis, adanya kemajuan dalam dunia transportasi; semula orang naik angkutan kereta kuda meningkat ke mobil, dari pesawat terbang meningkat ke pesawat jet yang mampu menjelajahi ruang angkasa. Secara umum hasil kemajuan ilmu dan teknologi telah banyak membuat hidup manusia lebih mudah dan ringan. Demikian juga dalam aktivitas kehidupan sehari hari sering dijumpai kebanyakan orang yang melakukan aktivitasnya serba mudah dan ringan, misalnya ke supermarket memilih naik mobil daripada berjalan kaki atau naik sepeda. Di supermarket pun ke sana ke mari melalui elevator (tangga berjalan), pergi ke kantor naik mobil bahkan parkirnya sangat dekat dengan pintu kantornya dan sebagainya.
Dari gambaran singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur aktivitas fisik tidak dominan sehingga telah membuat manusia lebih sedikit mempergunakan unsur fisiknya daripada unsur yang lain. Pendek kata, hasil perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi moderen secara tidak disadari menumbuhkan pola hidup inaktif (inactive life) atau sedentari (sedentary life), yakni kegiatan orang sehari-harinya tidak banyak memerlukan aktivitas fisik. Secara umum dapat dikatakan bahwa keadaan fisik menjadi pasif dan statis, artinya tidak segar baik jasmaniah maupun rohaniah. Kondisi ini antara lain sebagai akibat dari terus menerus menghadapi persoalan dan pekerjaan yang sama dan membosan�kan, lagi pula tugas pekerjaannya terlalu banyak membuat orang duduk atau diam, bahkan karena kesibukannya sering kali tidak mempunyai waktu atau kesempatan untuk melakukan aktivitas jasmani secara teratur.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa hampir semua akti�vitas manusia dapat digantikan dengan peralatan modern yang dapat mempermudah seseorang untuk melakukannya dengan efektif dan efisien. Namun, secara tidak disadari ada salah satu aktivitas jika diganti dengan peralatan atau sarana modern malah berdampak negatif, yaitu jika seseorang tidak berolahraga. Artinya aktivitas gerak digantikan atau dilakukan oleh peralatan atau sarana lain. Oleh karena itu, khusus untuk aktivitas jasmani atau olahraga harus dilakukan oleh setiap orang (dilakukan sendiri) dan tidak dapat digantikan dengan aktivitas apapun dan oleh siapapun.

c. Berolahraga Mendorong Pola Hidup Aktif
Suatu aktivitas atau pekerjaan rutin yang kurang mendapat�kan gerak, bila tidak diimbangi dengan aktivitas yang dapat meng�gerakkan otot-otot atau organ-organ tubuh, biasanya akan mudah terkena gangguan kesehatan. Dalam kenyataannya pola hidup sedentari (pola hidup tanpa aktivitas fisik) telah membawa kemunduran tingkat kesehatan dan kesegaran jasmani. Kondisi seperti ini memiliki faktor resiko yang lebih besar terhadap penyakit tertentu.
Dampak pola hidup sedentari yang menjadi masalah kese�hatan adalah resiko penyakit jantung yang merupakan salah satu penyebab kematian di Amerika dewasa ini, bahkan lebih dari separoh disebabkan karena penyakit-penyakit kardiovaskuler, seperti serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan sejenisnya (Fox, Kirby, dan Fox, 1987: 5). Selanjutnya mereka juga mengatakan bahwa masalah kesehatan umum lainnya sebagai akibat kurang gerak adalah kegemukan (obesity). Ternyata timbulnya penyakit kardiovaskuler secara statistik ada kaitannya dengan faktor kegemukan.
Oleh karena itu salah satu upaya dalam mengatasi masalah kesehatan tersebut adalah dengan berlatih olahraga secara teratur, karena dengan latihan olahraga yang teratur dapat mengurangi problem-problem kegemukan dan meningkatkan kemampuan jantung yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesegaran jasmaninya.
Manusia makin menyadari bahwa olahraga tak dapat dipisah�kan dari kehidupan manusia. Apalagi dengan majunya ilmu dan teknologi, olahraga makin dibutuhkan manusia untuk memelihara keseimbangan hidup.
Perkembangan dan persaingan pembangunan olahraga antar negara makin ketat dan keras, karena masing-masing negara sekarang ini makin menyadari akan pentingnya pembangunan olahraga bagi bangsanya, apalagi dalam era globalisasi sekarang ini.
Salah satu wahana dalam upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Insani adalah melalui pembangunan olahraga. Olahraga telah terbukti keampuhannya dalam turut serta membentuk manusia yang berkualitas.

d. Berolahraga sebagai Perwujudan Rasa Syukur
Dengan memperhatikan pentingnya dan dampak berolahraga, serta sebaliknya dengan memperhatikan resiko bagi yang tidak berolahraga, maka bagi mereka yang memiliki pola hidup sedentari (artinya, bagi mereka yang tidak memanfaatkan anugerah �Nikmat� dari Yang Maha Kuasa dalam wujud tersedianya komponen-komponen produksi energi untuk �gerak�) dapat dikatakan termasuk dalam golongan orang-orang yang kurang atau tidak bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.
Sebagai ilustrasi sebagaimana yang digambarkan oleh Starnes (1994: 27) yang menjelaskan bahwa proses tranformasi energi yang terjadi di dalam mitrokondria (organ sub seluler, tempat di mana energi ATP diproduksi) adalah suatu proses yang amat efisien. Kebutuhan sel dan jaringan akan ATP sangatlah tinggi, di mana volume ATP yang diperlukan selama 24 jam untuk orang dewasa dengan berat badan 68 kilogram kurang lebih 100.000 mmol ATP. Melalui proses �fosforilasi oksidatif� di dalam mitokondria, produk hidrolisis ATP (yaitu: ADP + Pi + E) dengan segera di �daur ulang� untuk membentuk kembali ATP.
Sangkot dalam kompas (1994: 11) menyatakan bahwa untuk kebutuhan seluruh tubuh, setiap hari kita membutuhkan 50-70 kg ATP, sedangkan untuk jantung saja 2-3 kg ATP. Harga ATP per kg saat ini 1.500 dollar AS, jadi setiaphari ATP yang diproduksi mitokon�dria mencapai nilai hampir 100.000 dola AS. Luar Biasa, di dalam tubuh kita ternyata terdapat suatu pabrik kimia dan biologi yang amat efisien.
Jika tidak terjadi proses �daur ulang� maka dibutuhkan konsumsi ATP harian + 50 kilogram sewaktu istirahat. Kita ketahui bahwa harga ATP per kg. pada tahun 1994 adalah US $ 1.500. Jadi setiap hari ATP yang diproduksi oleh mitokondria yang terdapat di dalam sel-sel tubuh mencapai nilai US $ 75.000. Seandainya kurs dolar Amerika hari ini Rp. 10.000,- per US dolar, maka tubuh kita dalam kondisi istirahat, membutuhkan dana sebesar 750 juta rupiah per hari. Hitung berapa umur kita sekarang (misalnya 54 tahun), artinya 54 x 360 hari = 19.440 hari. Dengan demikian Rp. 750.000.000,- x 19.440 =Rp. 145.800.000.000,- (148.8 trilyun). Ini dalam kondisi istirahat, apalagi dalam keadaan beraktivitas (Subhanallah, Allah Maha Pemurah dan Penyayang).
Jika malas berolahraga, maka fungsi tubuh tidak dapat meme�lihara nikmat Tuhan ini. Dengan berolahraga, proses sistem tubuh tersebut, terutama yang berkaitan dengan produksi sistem energi, akan berfungsi secara efektif dan efisien, demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, berolahraga secara teratur berarti merupakan perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Dalam arti, kita senantiasa berusaha dan memposisikan diri secara proporsional dan benar.

F. Sistem Pembangunan Dan Pembinaan Olahraga
Sistem adalah suatu keseluruhan atau keutuhan yang kom�pleks atau terorganisasi; suatu himpunan atau gabungan bagian-bagian yang membentuk keutuhan yang kompleks atau terpadu. Sistem merupakan seperangkat elemen-elemen yang saling berhubungan .
Pembangunan olahraga pada dasarnya merupakan suatu pelaksanaan sistem. Sebagai indikator adalah terwujudnya prestasi olahraga. Prestasi olahraga merupakan perpaduan dari berbagai aspek usaha dan kegiatan yang dicapai melalui sistem pembangunan. Tingkat keberhasilan pembangunan olahraga ini sangat tergantung pada keefektifan kerja sistem tersebut. Makin efektif kerja sistem, maka akan makin baik kualitas yang dihasilkan, demikian juga sebaliknya.
Pembinaan dan pengembangan pada dasarnya adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing dan mengembangankan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras, dalam rangka memberikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bakat, kecenderungan/keinginan serta kemampuan sebagai bekal untuk selanjutnya atas prakarsa sendiri menambah meningkatkan dan mengembangkan dirinya, sesama maupun lingkungannya ke arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusia yang optimal dan pribadi yang mandiri (Abdul Gafur, 1983:46)
Mengkaji sistem pembinaan olahraga di Indonesia pada hakikat�nya adalah mengkaji upaya pembinaan Sumber Daya Insani Indonesia. Dengan kata lain, upaya pembinaan ini tidak dapat dipisahkan dari upaya-upaya pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
Harre, Ed. (1982: 21) mengemukakan bahwa pembinaan olahraga yang dilakukan secara sistematik, tekun dan berkelan�jutan, diharapkan akan dapat mencapai prestasi yang bermakna. Proses pembinaan memerlukan waktu yang lama, yakni mulai dari masa kanak-kanak atau usia dini hingga anak mencapai tingkat efisiensi kompetisi yang tertinggi. Pembinaan dimulai dari program umum mengenai latihan dasar mengarah pada pengembangan efisiensi olahraga secara komprehensif dan kemudian berlatih yang dispesialisasikan pada cabang olahraga tertentu.
a. Olahraga kompetitif
Olahraga kompetitif yang dimaksud adalah berbagai kegiatan yang diarahkan untuk mencapai prestasi olahraga yang setinggi-tingginya. Olahraga prestasi biasanya digunakan sebagai alat perjuangan bangsa. Banyak negara yang memanfaatkan berbagai arena olahraga, seperti Olympic Games, atau Regional Games sebagai forum propaganda keunggulan bangsa dan memperlihatkan pembangunan bangsa di negaranya.
Berhasilnya Indonesia meraih satu medali Perak melalui olahraga panahan pada Olympic Games di Seoul 1988 dan beberapa medali emas, perak dan perunggu melalui cabang olahraga bulutangkis dan angkat besi ternyata mampu menunjukkan kepada dunia Internasional melalui prestasi olahraga. Peristiwa menarik yang lain adalah pada Olympic Games 1956 di Melbourne, Aus�tralia, tim sepakbola Indonesia mampu menahan tim sepakbola Rusia. Hanya setelah perpanjangan waktu, tim Indonesia menga�lami kekalahan. Dalam Olympic Games ini Rusia akhirnya sebagai juara. Bagi negara-negara yang memikirkan kesejahteraan rakyat�nya jauh ke depan, maka akan menempatkan olahraga pada urutan prioritas yang penting. Sejak kemerosatan prestasi olahraga Amerika dan Australia di arena Olympic Games, konggres dan parlemennya turut membahas bahkan berusaha mengatur pembinaan olahraga di negaranya masing-masing melalui rancangan undang-undang olahraga.
Penekanan pada peningkatan prestasi tidak hanya sekedar melakukan alih ketarampilan dari pelatih kepada atlet, melainkan merupakan upaya membina manusia seutuhnya.
Sistem pembangunan olahraga yang digunakan di Indonesia adalah sistem piramida, yang meliputi tiga tahap, yaitu (1) pemassalan; (2) pembibitan; dan (3) peningkatan prestasi. Apabila model perencanaan ini dikaitkan dengan teori piramida yang terdiri dari (1) pemassalan; (2) pembibitan; dan (3) peningkatan prestasi,

1. Pemassalan Olahraga
Pemassalan adalah mempolakan keterampilan dan kesegaran jasmani secara multilateral dan landasan spesialisasi. Pemassalan olahraga bertujuan untuk mendorong dan menggerakkan masyarakat agar lebih memahami dan menghayati langsung hakikat dan manfaat olahraga sebagai kebutuhan hidup, khususnya jenis olahraga yang bersifat mudah, murah, menarik, bermanfaat dan massal. Kaitannya dengan olahraga prestasi; tujuan pemassalan adalah melibatkan atlet sebanyak-banyaknya sebagai bagian dari upaya peningkatan prestasi olahraga.
Pemassalan olahraga merupakan dasar dari teori piramida dan sekaligus merupakan landasan dalam proses pembibitan dan pemanduan bakat atlet.
Pemassalan olahraga berfungsi untuk menumbuhkan kesehatan dan kesegaran jasmani manusia Indonesia dalam rangka membangun manusia yang berkualitas dengan menjadikan olahraga sebagai bagian dari pola hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dalam pembangunan olahraga perlu selalu meningkatkan dan memperluas pemassalan di kalangan bangsa Indonesia dalam upaya membangun kesehatan dan kesegaran jasmani, mental dan rokhani masyarakat serta membentuk watak dan kepribadian, displin dan sportivitas yang tinggi, yang merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia. Pemassalan dapat pula berfungsi sebagai wahana dalam penelusuran bibit-bibit untuk membentuk atlet berprestasi.
Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyara�kat merupakan bentuk upaya dalam melakukan pemassalan olahraga. Dalam olahraga prestasi, pemassalan seharusnya dimulai pada usia dini.
Bila dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, pemassalan sangat baik jika dimulai sejak masa kanak-kanak, terutama pada akhir masa kanak-kanak (6-12 tahun). Pada masa ini merupakan tahap perkembangan keterampilan gerak dasar.


2. Pembibitan Atlet
Pembibitan atlet adalah upaya mencari dan menemukan indi�vidu-individu yang memiliki potensi untuk mencapai prestasi olah�raga di kemudian hari, sebagai langkah atau tahap lanjutan dari pemassalan olahraga.
Pembibitan yang dimaksud adalah menyemaikan bibit, bukan mencari bibit. Ibaratnya seorang petani yang akan menanam padi, ia tidak membawa cangkul mencari bibit ke hutan, tetapi melaku�kan penyemaian bibit atau membuat bibit dengan cara tertentu, misalnya dengan memetak sebidang tanah sebagai tempat pem�buatan bibit yang akan ditanam.
Pembibian dapat dilakukan dengan melaksanakan identifikasi bakat (Talent Identification), kemudian dilanjutkan dengan tahap pengembangan bakat (Talent Development). Dengan cara demi�kian, maka proses pembibitan diharapkan akan lebih baik.
Ditinjau dari sudut pertumbuhan dan perkembangan gerak anak, merupakan kelanjutan dari akhir masa kanak-kanak, yaitu masa adolesensi.
Pelaksanaan pembibitan atlet ini menjadi tanggung jawab pengelola olahraga pada tingkat eksekutif-taktik dan sekaligus bertanggung jawab pada pembinaan di tingkat di bawahnya, yaitu pada tahap pemassalan olahraga. Di sini disusun program yang mampu memunculkan bibit-bibit, baik di tingkat kotamadya/kabupaten maupun di tingkat propinsi. Adanya kejuaraan-kejuaraan yang teratur merupakan salah satu cara untuk merangsang dan memacu munculnya atlet-atlet agar berlatih lebih giat dalam upaya meningkatkan prestasinya.
3. Peningkatan Prestasi
Prestasi olahraga merupakan puncak penampilan atlet yang dicapai dalam suatu pertandingan atau perlombaan, setelah melalui berbagai macam latihan maupun uji coba. Pertandingan/per�lom�baan tersebut dilakukan secara periodik dan dalam waktu tertentu.
Pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya merupakan pun�cak dari segala proses pembinaan, baik melalui pemassalan mau�pun pembibitan.
Dari hasil proses pembibitan akan dipilih atlet yang makin menampakkan prestasi olahraga yang dibina. Di sini peran penge�lola olahraga tingkat politik-strategik bertanggung jawab membina atlet-etlet ini yang memiliki kualitas prestasi tingkat nasional.
Para pengelola olahraga tingkat politik-strategik pada dasar�nya bertanggung jawab terhadap sistem pembangunan olahraga secara keseluruhan.
Oleh karena itu, pengorganisasian program pembinaan jangka panjang dapat dikemukakan bahwa (1) masa kanak-kanak berisi program latihan pemula (junior awal) yang merupakan usia mulai berolahraga dalam tahap pemassalan; (2) masa adolesensi berisi program latihan junior lanjut yang merupakan usia spesialisasi dalam tahap pembibitan; dan (3) masa pasca adolesensi berisi program latihan senior yang merupakan usia pencapaian prestasi puncak dalam tahap pembinaan prestasi.

b. Olahraga Non Kompetitif
Pembangunan olahraga termasuk suatu usaha untuk membentuk manusia dalam totalitasnya, baik jasmaniah maupun rokhaniah, sehingga melalui olahraga dapat memberikan sumbangan dharma baktinya bagi pembangunan bangsa.
Suatu negara yang ingin membangun bangsa yang sehat, kuat dan segar, maka perlu menyusun dan melaksanakan suatu sistem pembangunan olahraga secara menyeluruh yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan bangsa tidak akan lengkap atau sempurna tanpa pembangunan olahraga, karena aktivitas gerak manusia merupakan modal dasar aktivitas manusia dalam pembangunan.
Oleh karena pembangunan bangsa dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka pembangunan olahraga dilaksanakan untuk mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara pertumbuhan fisik-biologis dan pertumbuhan mental spiritual, antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Adapun pembangunan olahraga yang bersifat non kompetitif dapat diarahkan dalam rangka upaya-upaya sebagai berikut:
1. Pendidikan Bangsa
Olahraga dapat mengembangkan dan membangun kepribadian, watak, budi pekerti luhur dan moral tinggi serta inisatif. Karena penyelenggaraan pembinaan olahraga bagi individu dan masyarakat ini, mengandung pendidikan yang positif.

2. Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Olahraga dapat menghilangkan rasa kedaerahan dan kesukuan serta mempertebal rasa persatuan dan kesatuan Nasional. Hal ini dapat terlihat pada pertandingan-pertandingan atau kejuaraan-kejuaraan olahraga seperti, Pekan Olahraga Nasional (PON), pertandingan-pertandingan antar negara, dan lain-lain.

3. Pertahanan dan Ketahanan Nasional.
Dengan pembinaan olahraga bagi individu dan masyarakat, khususnya bagi generasi muda, antara lain meliputi pengarahan, bimbingan dan pengawasan intensif serta mengikutsertakan manusia secara aktif dalam penyelenggaraan, akan merupakan proses pendewasaan dan pengembangan kepemimpinan. Manusia yang berkepribadian tangguh, sehat jasmani dan rokhani merupakan modal penting bagi pertahanan dan ketahanan Nasional.

4. Rekreasi.
Dalam kehidupan moderen dengan kemajuan ilmu dan teknologi mutakhir, gerak manusia berkurang, maka untuk memelihara keseimbangan hidup manusia, kegiatan olahraga yang bersifat rekreatif sangat dibutuhkan.

G. Memberdayakan Potensi Bangsa Dalam Upaya Pembangunan Olahraga
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom dinyatakan bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam bidang olahraga adalah sebagai berikut:
1) Pemberian dukungan untuk pembangunan sarana dan prasarana olahraga;
2) Penetapan pedoman pemberdayaan masyarakat olahraga; dan
3) Penetapan kebijakan dalam penentuan kegiatan-kegiatan olahraga nasional/internasional.
Untuk itu, berdasarkan wilayah atau daerah, selebihnya menjadi kewenangan daerah (terutama kota/kabupaten). Implikasinya adalah pemerintah daerah (propinsi/kota/kabupaten) memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan dalam pembangunan olahraga di wilayah/daerahnya sesuai dengan kewenangannya, tanpa mengabaikan kebijakan pembangunan olahraga secara nasional.
Agar dalam merumuskan kebijakan pembangunan olahraga dapat dilakukan dengan baik, maka perlu memperhatikan kondisi dan potensi daerah yang ada. Khususnya dalam pembinaan olahraga prestasi harus dilakukan kajian dengan cermat.
Setelah kebijakan pembangunan olahraga dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah menggali dan menggalang potensi di daerah/masyarakat agar pembinaan olahraga tersebut secara operasional dapat dilakukan dengan baik.
Pembangunan olahraga bukan hanya tanggung jawab insan-insan olahraga, tetapi juga merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Pembangunan olahraga bukan hanya tanggung jawab pelatih dan atlet, melainkan tanggung jawab bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan kaitannya dengan pembangunan olahraga di Indonesia, yaitu (1) olahraga dijadikan gerakan nasional (national movement); (2) perlunya undang-undang keolahragaan; dan (3) perlunya sistem perencanaan program yang berkesinambungan dan terpadu.

a. Olahraga Dijadikan Gerakan Nasional (National Movement)
Kondisi pembinaan dewasa ini tampaknya masih belum menyentuh sampai lapisan bawah, yaitu kurang mengakar. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya pembenahan.
Tak ada salahnya bila kita mengkaji dari pengalaman bidang lain yang telah berhasil di negara kita, yaitu keberhasilan gerakan nasional Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan mulai tahun tujuh puluhan. Kalau kita perhatikan gerakan KB waktu itu, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Berkat komitmen dan usaha yang keras, maka KB sekarang ini bukan hanya disadari pentingnya bagi pembinaan keluarga, melainkan menjadi kebutuhan individu dan keluarga di masyrarakat. Bahkan sekarang ini di tingkat RW telah ada sebuah lembaga, yaitu Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Belajar dari pengalaman gerakan nasional KB, tampaknya tidaklah berlebihan apabila pembangunan olahraga di Indonesia dijadikan sebagai gerakan nasional yang benar-benar mengakar sampai ke lapisan bawah. Dalam hal ini upaya memasyarakatkan olahraga dan menngolahragakan masyarakat dilakukan dengan membentuk wadah pembinaan atau organisasi sampai tingkat Kecamatan (misalnya, KONI tingkat Kecamatan).
Sebagai pertimbangan mengenai perlunya KONI tingkat kecamatan adalah karena ada beberapa potensi yang dapat dikem�bangkan dan dilibatkan. Hampir di setiap kecamatan memiliki SD, SMTP dan/atau SMTA. Kondisi ini memungkinkan untuk membentuk suatu wadah pembinaan olahraga, minimal membentuk klub olahraga. Bersama-sama dengan tokoh lain, guru-guru pendidikan jasmani yang ada dapat dilibatkan dan difungsikan sebagai pelatih, sedangkan para siswa dapat dilibatkan sebagai atlet.
Dalam kenyataannya bahwa munculnya bibit-bibit unggul yang selama ini terjadi ditemukan di kampung-kampung yang ter�bukti telah menghasilkan atlet-atlet tangguh di cabangnya masing-masing, misalnya Icuk Sugiarto, Joko Supriyanto, Sumardi, Yayuk Basuki dan lain-lain. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan dalam memayungi dan mewadahi munculnya bibit-bibit melalui lembaga atau organisasi olahraga, setidak-tidaknya di tingkat kecamatan.
Organisasi/lembaga olahraga di tingkat kecamatan ini teru�tama berupaya menumbuhkan dan mengelola klub-klub olahraga yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Hal ini didasarkan bahwa keberadaan klub-klub olahraga di Indonesia telah muncul beberapa puluh tahun yang lalu.
Klub olahraga ini bermunculan di berbagai tempat. Hampir semua cabang olahraga menyandarkan pembinaannya bersumber dari aktivitas hasil klub sebagai landasan awal. Dalam kenyataan�nya, masyarakat olahraga membutuhkan wadah ini sebagai tempat untuk berlatih dan membina atlet. Namun penanganan yang tepat agar klub tersebut dapat hidup dalam suasana yang kondusif masih belum optimal.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa populasi anak usia SD dan SMTP cukup besar jumlahnya. Oleh karena itu, keberadaan klub-klub olahraga sangat strategis sebagai upaya menampung minat yang berada di lingkungan mereka. Dan klub ini tidak akan kekurangan peserta. Perlunya wadah dan lembaga olahraga tingkat kecamatan ini, tampaknya sangat memungkinkan untuk ditangani, terutama dalam upaya pemassalan dan pembibitan.

b. Perlunya Undang-Undang Keolahragaan
Kebutuhan akan adanya undang-undang tentang keolahragaan dirasakan sangat mendesak. Hal ini disebabkan karena pembinaan ataupun pembangunan olahraga pada dasarnya merupakan suatu sistem. Oleh karena sistem melibatkan berbagai unsur yang bersifat koordinatif dan terpadu, maka diperlukan adanya pengaturan.
Ada beberapa pertimbangan utama mengenai perlunya undang-undang keolahragaan, yaitu:
1. Bahwa pembinaan dan pembangunan olahraga merupakan bagian penting dari pembangunan manusia seutuhnya. Dalam kenyataannya penanganan pembinaan olahraga di Indonesia belum mendapat penanganan secara proporsional.
2. Berbagai masalah yang selama ini muncul, misalnya pemba�ngu�nan sarana dan prasarana di lingkungan pendidikan, masya�rakat maupun lingkungan industri akan sangat efektif apabila diatur dalam undang-undang.
3. Pembinaan olahraga, baik melalui pemassalan, pembibitan, mau�pun peningkatan presitasi, makin lama mengalami perkem�bangan yang makin padat dan memerlukan pengelolaan yang efektif dan efisien. Di samping itu, kewenangan dalam pengelolaannya juga memerlukan peraturan yang jelas.
4. Secara umum bahwa perkembangan olahraga bersifat universal tidak dapat lepas dari perkembangan olahraga internasional. Indonesia sebagai salah satu bangsa yang menyadari akan pentingnya olahraga bagi kehidupan bangsa, maka perlu adanya pengaturan untuk menjamin terlaksananya pembangunan olahraga yang didasarkan pada ketentuan dan peraturan yang berupa legalitas hukum atau undang-undang.
5. Hampir semua lembaga maupun individu merasa berhak, berwenang dan bebas mengurus olahraga di Indonesia, sehingga sering terjadi tumpang tindih dan sering kali terjadi penghamburan dana yang sasarannya tergantung pada si pemberi dana.
Pentingnya undang-undang olahraga ini telah ditunjukkan tingkat keefektivan dan keefisienannya oleh negara-negara maju, seperti Amerika dan Australia.

c. Perlunya Sistem Perencanaan dan Pelaksanaan Program Yang
Berkesinambungan dan Terpadu Idealnya pembangunan olahraga di Indonesia dikelola oleh sebuah departemen yang memiliki struktur organisasi sampai ke tingkat bawah. Selama ini pembangunan olahraga ditangani oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Departemen Pendidikan Nasional, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), dan Badan Pembina Olahraga Profesional Indonesia (BAPOPI).
Persoalannya adalah bagaimana program dari masing-masing lembaga tersebut dapat dijalankan dengan baik, dan tidak terjadi tumpang tindih.
Keefektivan suatu sistem pembangunan olahraga sangat tergantung pada sistem perencanaan. Dalam arti bahwa perencanaan suatu sistem merupakan suatu proses mempersiapkan hal-hal yang akan dikerjakan pada waktu yang akan datang untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, perencanaan sistem pembangunan olahraga yang matang sangat diperlukan.
Perencanaan pembangunan olahraga seharusnya dipandang sebagai suatu alat yang dapat membantu para pengelola pembangunan untuk menjadi lebih berdaya guna dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Perencanaan dapat membantu pencapaian suatu target atau sasaran secara lebih ekonomis, tepat waktu dan memberi peluang untuk lebih mudah dikontrol dan dimonitor dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, perencanaan program yang sistematis dan sistemik, akan menjadikan program tersebut runtut, terpadu dan berkesinambungan.


H. Etika Dan Moral Dalam Olahraga
a) Hakikat Etika
Istilah etika dan moral secara etimologis, kata ethics berasal dari kata Yunani, ethike yang berarti ilmu tentang moral atau karakter. Studi tentang etika itu secara khas sehubungan dengan prinsip kewajiban manusia atau studi tentang semua kualitas mental dan moral yang membedakan seseorang atau suku bangsa. Moral berasal dari kata Latin, mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata krama. (Rusli Lutan) Etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dimana yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. (Franz Magnis Suseno,1989). Lebih lanjut dikatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Untuk memahami etika, maka kita harus memahami moral. Selanjutnya Suseno mengatakan bahwa Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung jawabab dan mau menyingkapkankan ke rancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan di pertanggung jawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral. Dalam etika mengembangkan diri,
Orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani tidak asing baginya, yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religius. Suatu usaha sangat berharga untuk menyusun nilai-nilai dan menjelaskan makna bagi manusia dilakukan oleh Max Scheler dikemukan sebagai berikut : Mengembangkan diri, Melepaskan diri, menerima diri Freeman menyebutkan bahwa etika terkait dengan moral dan tingkah laku, menjelaskan aturan yang tepat tentang sikap. Etika merupakan pelajaran dari tingkah laku ideal dan pengetahuan antara yang baik dan buruk. Etika juga menggambarkan tindakan yang benar atau salah dan apa yang harus orang lakukan atau tidak.
Etika penting karena merupakan kesepakatan pada kebiasan manusia, bagaimana modelnya, bagaimana ia menunjukkan dirinya sendiri, dengan segala sisi baik dan buruk. Scott Kretchmar mengemukakan etika mendasari tentang cara melihat dan mempromosikan kehidupan yang baik, tentang mendapatkannya, merayakannya dan menjaganya. Etika terkait dengan nilai-nilai pemeliharaan seperti kebenaran, pengetahuan, kesempurnaan, persahabatan dan banyak nilai-nilai lainnya. Etika juga mengenai rasa belas kasih dan simpati, tentang memastikan kehidupan baik berbagi dengan lainnya, etika terkait dengan kepedulian terhadap yang lain, terutama yang tidak punya kedudukan atau kekuatan yang diperlukan untuk melindungi diri mereka sendiri atau jalan mereka.

b) Hakikat Moral
Istilah moral dikaitkan dengan motif, maksud dan tujuan berbuat. Moral berkaitan dengan niat. Sedangkan etika adalah studi tentang moral. Sedangkan menurut Freeman etika terkait dengan moral dan tingkah laku. Lebih lanjut Scott Kretchmar menyatakan bahwa etika juga mengenai tentang rasa belas kasih dan simpati-tentang memastikan kehidupan yang baik berbagi dengan lainnya. Suseno mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolokukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam bidang atau situasi khusus. Seperti bola tidak boleh disentuh oleh pemain sepakbola, bila permainan berhenti maka aturan itu sudah tidak berlaku. Norma diatas merupakan norma khusus, sedangkan norma umum ada tiga macam seperti : norma-norma sopan santun, norma-norma hukum dan norma-norma moral. Norma sopan santun menyangkut sikap lahiriah manusia.
Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar, orang yang melanggar hukum, pasti akan dikenai hukuman sebagai sangsi. Tetapi norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi bahwa demi tuntutan suara hati, demi kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum.
Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang, maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai. Itulah sebab penilaian moral selalu berbobot. Perkembangan moral adalah proses, dan melalui proses itu seseorang mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang diterima oleh masyarakat (Bandura, 1977). Pada dasarnya seseorang yang konsisten menginternalisasi norma dipandang sebagai seseorang yang bermoral. Para ahli menerapkan apa yang disebut pendekatan �kantong kebajikan� (Kohlberg, 1981), teori ini percaya bahwa seseorang mencontoh perilaku orang lain sebagai model atau tauladan yang ia nilai memiliki sifat-sifat tertentu atau yang menunjukkan perilaku berlandasan nilai yang diharapkan.
Untuk memahami moral Kohlberg (1981) dan Rest (1986) menyatakan bahwa pemahaman moral berpengaruh langsung terhadap motivasi dan perilaku namun memiliki hubungan yang tak begitu kuat. Hubungan erat pada empati, emosi, rasa bersalah, latar belakang sosial, pengalaman. Suseno melihat terdapat tiga prinsip dasar dalam moral, yaitu prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat terhadap diri sendiri.Prinsip sikap baik dimana prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain, dimana sikap yang dituntut dari kita adalah jangan merugikan siapa saja. Prinsip bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat mungkin mencegah akibat buruk dari tindakan. Prinsip keadilan dimana keadilan tidak sama dengan sikap baik, demi menyelamatan gol dari serangan lawan, pemain belakang menahan dengan tangan, hal itu tetap tidak boleh dengan alasan apapun, berbuat baik dengan melanggar hak pihak lain tidak dibenarkan. Prinsip hormat terhadap diri sendiri mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai suatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk berakal budi.

c) Bagaimana kita mengajarkan etika dan nilai moral
Dalam mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh, pepatah mengatakan bahwa tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Lutan mengatakan Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi,tugas dll. Lebih lanjut dikatakan ada 4 nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal yaitu :

1) Keadilan.
Keadilan ada dalam beberapa bentuk ; distributif, prosedural, retributif dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian keuntungan dan beban secara relatif. Keadilan prosedural mencakuppersepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup persepsi yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya. Seorang wasit bila ragu memutuskan apakah pemain penyerang berada pada posisi off-side dalam sepakbola, ia minta pendapat penjaga garis. Semua pemain penyerang akan protes, meskipun akhirnya harus dapat menerima, jika misalnya wasit dalam kasus lainnya memberikan hukuman tendangan penalti akibat pemain bertahana menyentuh bola dengan tanganya, atau sengaja menangkap bola di daerah penalti. Tentu saja ia berusaha berbuat seadil mungkin. Bila ia kurang yakin, mungkin cukup dengan memberikan hukuman berupa tendangan bebas.

2) Kejujuran.
Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya selalu terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindak dan perkataan. Semua pihak percaya bahwa wasit dapat mempertaruhkan integritasnya dengan membuat keputusan yang fair. Ia terpercaya karena keputusannya mencerminkan kejujuran.
3) Tanggung Jawab.
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada permainan itu sendiri. Tanggung jawab ini merupakan nilai moral terpenting dalam olahraga.

4) Kedamaian
Kedamaian mengandung pengertian : a)tidak akan menganiaya, b)mencegah penganiayaan, c) menghilangkan penganiaan, dan d)berbuat baik. Bayangkan bila ada pelatih yang mengintrusksikan untuk mencederai lawan agar tidak mampu bermain.
Freeman dalam buku Physical Education and Sport in A cahanging Society menyarankan 5 area dasar dari etika yang harus diberikan yaitu : 1) Keadilan dan persamaan, 2) Respek terhadap diri sendiri. 3) Respek dan pertimbangan terhadap yang lain, 4) Menghormati peraturan dan kewenangan , 5) Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif. (Freeman,2001;210)
1. Keadilan dan Persamaan
Anak didik atau atlet adalah mengharapkan perlakuan yang adil dan sama. Anak didik ingin sebuah kesempatan untuk belajar yang sama. Seringkali anak didik yang di bawah rata-rata dalam olahraga diabaikan.
2. Respek terhadap diri sendiri
Pelajar atau atlet membutuhkan respek terhadap diri sendiri dan imej positif tentang dirinya untuk menjadi sukses. Pelatih dan pengajar yang melatih semua anak didiknya dengan sama mengambil langkah tepat dalam setiap arahnya agar anak didiknya merasa dirinya penting dan layak dimata pengajarnya.
3. Rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain.
Pelajar dan atlet membutuhkan rasa hormat kepada orang lain, apakah teman sekelasnya, lawan bertanding, guru ataupun pelatihnya. Mereka perlu belajar tentang bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat.




BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penulis uaraikan maka dapat ditarik satu kesimpulah bahwa Salah satu masalah penting dalam antropologi olahraga adalah bersosial dan berinteraksi, pendidikan jasmani dan olahraga sebagai salah satu sarana pendidikan masyarakat / Olahragawan /manusia/ individu untuk memberikan suatu pemikiran tentang bagaimana cara hidup dengan layak dan sehat jasmani dan rohani dalam dalam kehidupan bermasyarakat. Mengajarkan Sosiologi sebaiknya lebih bersifat berinteraksi dengan lingkungan.Tindakan lebih baik dari kata-kata. Nilai Sosial itu beraneka ragam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperatif dan mudah berinteraksi dengan masyarakat.
Dalam memahami arti pendidikan jasmani dan, kita harus juga mempertimbangkan Perspektif antropologi Olahraga, Pendidikan jasmani dan olahraga (sport) dengan sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
Sejak manusia lahir di dunia, ia telah berjuang untuk mempertahankan kehidupan yang wajar, untuk dapat hidup dengan tenaga dan pikirannya. Untuk itu manusia memperkembangkan kekuatan fisik dan jasmani supaya badannya cukup kuat dan tenaganya cukup terlatih, menjadi tangkas untuk melakukan perjuangan hidupnya. Disamping itu menjadi kebutuhan hidup tiap manusia dan menjadi sifat manusia untuk mencoba kekuatan dan ketangkasannya dengan manusia-manusia lain.
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan jasmani harus diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan jasmani bukan aktivitas jasmani itu sendiri, tetapi untuk mengembangkan potensi siswa melalu aktivitas jasmani.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.
Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
B. Saran
Berbicara tentang antropologi kaitanya dengan olahraga , maka ada bebarapa saran yang dapat di garis bawahi oleh penulis dalam makalah ini adalah:
1. Kami sebagai penyusun makalah ini, sangat mengharap atas segala saran � saran dan kritikan bagi para pembaca yang kami hormati guna untuk membangun pada masa yang akan datang untuk menjadi yang lebih baik dalam membenarkan alur-alur yang semestinya kurang memuaskan bagi tugas yang kami laksanakan.
2. Hubungannya dengan perkembangan antropologi olahraga diharapkan masyarakat atau anak didik (Atlet) dalam mengembangkan hubungan antara masyarakat olahraga dan masyarakat dilingkungan olahraga diharapkan dapat mengetahui arti penting berinteraksi antar masyarakat olahraga dan masyarakat lingkungan
3. Pendidikan Jasmani, olahraga dan sosiologi tidak bisa dipisahkan karena ketiganya saling mempengaruhi didalam meningkatkan dinamika sosial-budaya masyarakat.
4. Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan jasmani harus diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan jasmani bukan aktivitas jasmani itu sendiri, tetapi untuk mengembangkan potensi siswa melalu aktivitas jasmani.
5. Didalam memahami Pendidikan jasmani, olahraga dan sosiologi olahraga harus tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing. Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Agung Drs , Aspirasi , semester 1-2, penerbit dan percetakan Pustaka Manggala,2007.

BOUMAN, P.J. (1976) Sosiologi, Pengertian dan masalah. Yogyakarta, Penerbit Yayasan Kanisius.

Cooper, K.H. (1994) : Antioxidant Revolution, Thomas Nelson Publishers, Nashville-Atlanta-London Vancouver.

COSER, L. (1964). The Function of Social Conflict. New York, The Free Press.

DURKHEIM, E. (1966). The Division of Labour (Translation). New York, The Free Press.

_____________ (1962). Socialism. London, Colliers Books

Giriwijoyo,Y.S.S. (1992) Ilmu Faal Olahraga, Buku perkuliahan Mahasiswa FPOK-IKIP Bandung.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. dan H.Muchtamadji M.Ali (1997) : Makalah : Pendidikan Jasmani dan Olahraga di Sekolah, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, IKIP Bandung.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. (2000) : Olahraga Kesehatan, Bahan perkuliahan Mahasiswa FPOK-UPI.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. (2001) : Makalah : Pendidikan Jasmani dan Olahraga, kontribusinya terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik, Ma�had Al-Zaytun, Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. dan Komariyah,L (2007): Makalah : Pendidikan Jasmani dan Olahraga di Lembaga Pendidikan, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia, 2007.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. (2008) : Pendidikan Jasmani dan Olahraga di Sekolah Dasar, Makalah disajikan pada Penataran Guru Pen-Jas, diselenggarakan oleh PERWOSI Jawa Barat, Maret 2008 di gedung Gymnasium Universitas Pendidikan Indonesia.

GOULDNER, Alvin W. (1973). The Coming Crisis of Western Sociology. London, Heineman

Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom

H.Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Hartoto. 2008. Defenisi Sosiologi Pendidikan. Online (http://www.fatamorghana. wordpress.com, diakses 20 Maret 2008).

HINDESS, Barry (ed. 1977). Sociological theories of the Economy. London, the Mac Millan Press.
Ikhwanuddin Syarif (ed). (2001) Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia baru, 70 tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed. Jakarta: Grasindo, 2001.

KAZACIGIL, Ali (ed. 1994). Sociology: State of the Art I. International Social Sciences Journal, February 1994:139. Paris, Blackwell Publ.

MARX, K. (1956). Selected Writings in Sociology and Social Philosophy. (Translation by T.B. Bottomore). New York, Mc Graw-Hill Books.

MARTINELLI, alberto (2002). �Markets, Government and Global Governance�. Presidential address, ISA XV Congress, Brisbane 2002

MILLS, C, Wright (1961). The Sociological Imagination. New York, Grove Press, Inc.

MUDIM BE, V.Y. (ed. Dkk, 1996). Open the Social Sciences. Refort of the Guilbenkian Commission of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Social Science. Stanford, Stanford Univ. Press.

PARSONS, Talcot (1951). The Social System; The Major Exposition of the Author�s Conceptual Scheme. New York, Free Press.

Richard Tinning, et., al, (2001) Becoming a physical education teacher, Australia: Printice hall.

SIMMEL, G. (1955). Conflict and the Web of Group Affixations. New York, The Free Press.

____________ (1950). The sociology of George Simmel. New York, The Free Press of Glencol

SIMONDS, A.P. (1978). Karl Mennheim�s Sociology of Knowledge. Oxford, Clarendom Press

SOROKIN, P.A. (1928). Contemporary Sociological Theories; through the First Quarter of the 20th Century. New York, Harper Torchbooks.

STEINER, Philippe (2001). �The Sociology of Economic Knowledge�. The Return of Economic Sociology in Europe (a. Symposium) dalam European Journal of Social Theory 4 (4). London, Sage Publications

Sutan Zanti dan Syahniar Syahrun, (1993) Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Dirjeb Pend. Tinggi.

WEBER, M. (1964). The Theory of Sociology Imagination. New York, Grove Press, Inc.
Wendy Kohli (ed).,(1995) Critical Conversations in Pholosophy of Education. New York: Routledge.
WERTHEIM, W.F. et.al. (ed.s 1955-1957). Indonesian Sociological Studies; Selected Writings of B. Watson,A.S. (1992): Children in Sports, dalam Textbook of Science and Medicine in Sport Edited by J.Bloomfield, P.A.Fricker and K.D.Fitch; Blackwell Scientific Publications.
William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing society. Boston: Allyn & Bacon.
Schrieke (2 parts). The Haque, W. van Hoeve.

Rabu, 16 Juni 2010

Kontribusi Psikologi terhadap Pendidikan

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sudah sejak lama bidang psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan dalam pengembangan teori dan praktek pendidikan dan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendidikan, diantaranya terhadap pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran dan sistem penilaian.

1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.

Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.

Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik individu lainnya.

Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya.

Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.

Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa

2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran

Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.

Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :
1.Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
2.Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
3.Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4.Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5.Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
6.Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
7.Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
8.Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
9.Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar t.ujuan-tujuan lain.
10Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
11.Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
12.Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.

3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian

Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.

Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

=============
Sumber : Ahmad Sudrajat

Umpan Balik yang Efektif bagi Siswa

Umpan balik merupakan sebuah proses di kelas yang telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti praktik pembelajaran sejak tahun 1970-an hingga sekarang ini. Secara konsisten, para peneliti telah menemukan bukti-bukti bahwa ketika guru mampu menggunakan prosedur umpan balik yang efektif ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswanya. Bahkan, hasil studi yang dilakukan Bellon, Bellon, dan Blank menunjukkan bahwa dibandingkan dengan berbagai perilaku mengajar lainnya, pemberian umpan balik akademik ternyata lebih berkorelasi dengan prestasi belajar siswa. Dengan tanpa memandang kelas, status sosial ekonomi, ras, atau keadaan sekolah korelasi ini cenderung konsisten. Ketika umpan balik dan prosedur korektif digunakan secara tepat ternyata sebagian besar siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya hingga di atas 20% .

Umpan balik yang efektif merupakan bagian integral dari sebuah dialog instruksional antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, maupun siswa dengan dirinya sendiri, dan bukanlah sebuah praktik yang terpisahkan.

Terkait dengan umpan balik yang efektif ini, Black dan Wiliam mencatat tiga komponen penting yaitu:

(1) Recognition of the desired goal.

Umpan balik diberikan sebagai respons atas kinerja siswa. Kinerja siswa adalah kesanggupan siswa untuk dapat menunjukkan penguasaannya atas berbagai tujuan pembelajarannya. Guru harus dapat merumuskan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai secara jelas dan dapat mengkomunikasikannya pada awal pembelajaran, baik tentang wilayah materi, indikator kurikuler maupun penguasaan tujuan.

Salah satu metode yang cukup efektif untuk memastikan bahwa siswa memahami tujuan pembelajarannya yaitu dengan cara melibatkan mereka dalam menetapkan �kriteria keberhasilan� yang bisa dilihat atau didengar. Misalnya, guru dapat memperlihatkan beberapa contoh produk sebagai tujuan pembelajaran yang patut ditiru oleh para siswa, menunjukkan kalimat-kalimat yang benar dengan ditulis menggunakan huruf kapital, kesimpulan yang diambil dari data, penyajian tabel atau grafik dan sejenisnya.

Apabila para siswa telah dapat memahami tentang kriteria keberhasilan pembelajarannya, mereka akan terbantu untuk mengarahkan belajarnya dan mereka akan lebih mampu untuk melaksanakan proses pembelajarannnya

Selain memberikan pemahaman yang jelas tentang tujuan pembelajaran, guru juga perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami indikator dari tingkat penguasaan tujuan pembelajarannya, baik secara lisan, tertulis maupun dalam bentuk lainnya.

(2) Evidence about present position

Istilah �bukti� di sini menunjuk kepada informasi atau fakta tentang kinerja yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran, khusunya tentang sejauhmana tujuan pembelajaran telah tercapai dan sejauhmana tujuan pembelajaran itu belum tercapai.

Grant Wiggin mengemukakan bahwa umpan balik bukanlah tentang pemberian pujian atau celaan, persetujuan atau ketidaksetujuan, tetapi sebagai usaha untuk memberikan nilai atau makna. Umpan balik pada dasarnya bersifat netral yang menggambarkan apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan siswa. Selain itu, bahwa umpan balik juga harus bersifat obyektif, deskriptif dan disampaikan pada waktu yang tepat yakni pada saat tujuan pembelajaran masih segar dalam benak siswa.

Salah satu cara pemberian umpan balik yang cukup bermakna yaitu dengan membandingkan produk siswa dengan kriteria keberhasilan telah telah dikomunikasikan sebelumnya. Contoh sederhana pemberian umpan balik yaitu dengan membuat sebuah format tentang �Daftar Kriteria Keberhasilan�. Dalam daftar tersebut, guru dapat memberikan tanda + (plus) untuk menunjukkan tentang kriteria yang telah berhasil dipenuhi siswa dan memberikan catatan tertentu untuk yang belum dipenuhinya.

(3) Some understanding of a way to close the gap between the two.

Umpan balik yang efektif yaitu harus dapat memberikan bimbingan kepada setiap siswa tentang bagaimana melakukan perbaikan. Black dan Wiliam menegaskan bahwa setiap siswa harus diberi bantuan dan kesempatan untuk melakukan perbaikan. Guru tidak hanya memberikan umpan balik yang mencerminkan tentang kinerja yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran siswanya, tetapi juga harus dapat memberikan strategi dan tips tentang cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan, serta kesempatan untuk menerapkan umpan balik yang diterimanya.

Wiggins meyakini bahwa melalui siklus umpan balik ini dapat menghasilkan keunggulan kinerja siswa. Oleh karena itu, siswa harus senantiasa memiliki akses rutin terhadap kriteria dan standar-standar tugas yang harus dituntaskannya; mereka juga harus memperoleh umpan balik dalam upaya menyelesaikan tugas-tugasnya, mereka harus memiliki kesempatan untuk memanfaatkan umpan balik untuk memperbaiki kerjanya serta mengevaluasi kembali terhadap standar

Sumber :

Diterjemahkan dari judul asli : Providing Students with Effective Feedback. Academic Leadership Jounal online Volume 4 � Issue 4 Feb 12, 2007